Pertanyaan pada judul tersebut sangat relevan diajukan, sebab isu lingkungan hingga kini tampaknya belum menempati posisi penting dalam diskursus peradaban di negeri ini, termasuk dalam hiruk pikuk diskusi politik menjelang suksesi politik baik pada level pusat maupun daerah. Fikih lingkungan menjadi salah satu formula yang diharapkan “kaya energy” untuk mengajak masyarakat memberi perhatian pada permasalahan lingkungan sekaligus menjadikan keramahan terhadap lingkungan sebagai perilaku dan gaya hidup (lifestyle). Secara teoritik, untuk masyarakat religius seperti Indonesia, kampanye tentang perilaku dan gaya hidup yang lebih positip terhadap lingkungan akan lebih bisa diterima dan ngefek jika dikemas dalam Bahasa agama.
Memang patut disayangkan. Dalam gegap gempita diskusi mengenai agenda-agenda perubahan yang menyertai Pileg, Pilpres dan Pilkada, isu lingkungan tidak cukup sexy untuk diajukan. Bahkan dalam Pileg dan Pilpres 2019 lalu sempat muncul desakan dari Koalisi Masyarakat Sipil Baru agar para pemilih menguji para kandidat yang sedang berkontestasi dengan isu ini serta mendorong pembahasan tentang pelestarian lingkungan masuk dalam agenda politik mereka. Kini, di masa pandemi Covid-19, Pillkada serentak di 270 daerah naga-naganya akan tetap dihelat pada 9 Desember 2020. Seberapa intensif isu lingkungan didiskusikan dan diusung sebagai agenda politik para kandidat juga bisa kita lihat. Nasibnya akan tetap sama dengan masa-masa sebelumnya: Sangat minim!.
Coba anda cermati konten yang berseliweran di Media sosial kita. Penuh sesak dengan narasi yang menggiring publik untuk kepentingan politik dan kekuasaan jangka pendek. Sepi dari pengkerangkaan yang bersifat strategis untuk kepentingan jangka panjang bagi masadepan bangsa ini. Diskusi dan analisis atas peristiwa-peristiwa aktual yang terjadi banyak yang dimasukkan dalam framing kepentingan “lima tahunan” dan ditarik sangat kuat pada segregasi hitam putih sisa-sisa pertarungan politik 2014 dan 2019. Bahkan tak jarang disertai dengan berita hoax, caci maki, fitnah dan ujaran kebencian. Agenda lingkungan tetap kurang dilirik.
Tokoh-tokoh yang mengatasnamakan agama juga banyak yang tidak bisa menghindari “jebakan” ini. Mereka banyak yang lebih fasih mendemonstrasikan argumen-argumen dan narasi-narasi politik praktis daripada agenda-agenda strategis yang berjangka panjang sebagai wujud dari visi politik aduluhung. Padahal, di era digital seperti ini, tanggung jawab moral dan sosial mereka sangat besar. Sepak terjang mereka bisa menjadi referensi bagi jutaan “jama’ah al-medsosiah” yang mengandalkan “uswah hasanah” dari “selebriti-selebriti agama” seperti mereka. Di era Post-truth yang berwatak disruptif seperti ini, sesungguhnya mereka memiliki ruang yang sangat luas untuk menjernihkan pikiran masyarakat dan menjadi pemandu bagi nalar sehat dan jalan lurus menuju keadaban.
Sayangnya, atmosfir politik praktis sangat mendominasi alam pikir para selebritis kita di dunia digital. Miskin sekali lalu lintas gagasan di medsos kita yang membawa kita kepada perbicangan cerdas mengenai isu lingkungan. Padahal, mereka memiliki potensi besar untuk berkontribusi mengkampanyekan perilaku ramah lingkungan bahkan meyakinkan para “penggede politik” untuk berinvestasi menyelamatkan bumi dan menyelamatkan generasi melalui kebijakan-kebijakan strategis untuk penyelesaian problem-problem lingkungan.
Memang ada konten-konten yang mengusung isu lingkungan beredar bahkan menjadi viral di Medsos di musim Pandemi ini. Konten itu mengabarkan kepada kita mengenai berkah pandemi Covid-19 yang memaksa manusia menurunkan aktifitasnya melalui PSBB bahkan kebijakan lock-down di berbagai belahan dunia. Kebijakan ini membuat perubahan sangat signifikan pada langit yang makin biru dan berwarna cerah, recovery atmosfir bumi yang membangkitkan optimisme, limbah sampah dan plastik serta pencairan salju di kutub yang berkurang signifikan, serta pesta poranya biota laut karena berhentinya deru mesin penyerbu yang mengaduk-aduk ekosistem laut.
Akan tetapi, hal tersebut bukan terjadi by design dengan penuh kesadaran, melainkan sebagai berkah terselubung (blessings in disguise) dari pandemi Covid-19. Karenanya, kabar gembira tersebut diprediksi tidak akan berlangsung lama. Ketika pandemi berlalu maka manusia kembali ke perilaku asalnya. Bisa-bisa hal ini justru memberi legitimasi bagi dimulainya kembali perilaku anti-lingkungan pasca pandemi. Jelasnya, hampir dapat dipastikan, di hari-hari ke depan problem-problem lingkungan semakin berat.
Mainstreaming Fikih Lingkungan
Setidaknya ada 10 problem lingkungan di negeri kita ini yang membutuhkan keseriusan semua elemen masyarakat, termasuk dunia pendidikan dan pendidikan tinggi. Terlebih perguruan tinggi yang mengibarkan bendera agama dan mendeklarasikan diri sebagai “Smart and Green Campus” seperti UIN Walisongo ini. Kesepuluh problem tersebut adalah: sampah, banjir, pencemaran sungai, sulitnya air bersih, pencemaran udara, kerusakan hutan, abrasi, pencemaran tanah, rusaknya ekosistem laut, dan pemanasan global. Fikih lingkungan menjadi formula penting untuk menyadarkan pada masyarakat agama, bahwa perhatian pada penyelesaian problem-problem ini merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran agama. Ia merupakan bagian dari kemaslahatan yang menjadi tujuan esensial agama.
Setelah Kyai Ali Yafie menulis buku “Merintis Fiqh Lingkungan Hidup” di Tahun 2006, isu ini sempat direspon secara antusias oleh pengkaji fikih dan pegiat lingkungan. Ia menggelinding menjadi gerakan moral untuk menyadarkan kembali kepada para pemimpin politik, penguasa ekonomi, dan masyarakat mengenai agenda mendesak yang jika tidak segera diatasi akan menghadirkan “mimpi buruk” pada generasi mendatang. Tetapi belakangan isu ini makin meredup. Perilaku eksploitatif terhadap alam dan laju perusakan lingkungan tetap menunjukkan grafik menaik.
Ali Yafie mengajukan dua pilar penting dalam ajaran Islam yang bisa menopang argumen pentingnya mainstreaming fikih lingkungan. Pertama, konsep Rabbul ’Alamin. Islam mengajarkan bahwa Allah SWT itu adalah Tuhan semesta alam. Dalam Islam, Tuhan tidaklah didefinisikan sebagai Tuhannya manusia atau sekelompok manusia saja, melainkan Tuhan semesta alam. Ini berarti, sejak menerima Islam sebagai agama, seseorang harus memiliki wawasan kosmologis yang luas bahwa Allah SWT adalah Tuhan semesta alam. Kepicikan pikir dan egoisme bahwa Allah SWT hanyalah Tuhannya manusia adalah sebuah kesesatan. Jadi Tuhan yang disembah manusia adalah Tuhan semua alam. Semuanya dilayani dan dipelihara oleh Allah. Ini berarti, semua perilaku yang mengakibatkan kerusakan terhadap alam dan lingkungan adalah pembangkangan terhadap Rabbul Alamin.
Pilar kedua adalah konsep Rahmatan Lil’alamin. Manusia diberi amanat untuk mewujudkan rasa kasih sayang dalam berperilaku terhadap seluruh alam. Manusia dalam semua tindakannya harus berdasarkan rasa kasih sayangnya tidak saja kepada sesama manusia, namun juga kepada seluruh alam. Ini adalah bagian substantif dari misi kenabian sebagaimana digambarkan dalam Al-qur’an. “Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam.” (QS, Al-Anbiyâ’/21:107).
Mengacu pada doktrin keagaman yang mendasar seperti ini dan melihat potensi pengabaian persoalan lingkungan dan dampaknya terhadap kemafsadatan bahkan eksistensi kemanusiaan di masa-masa mendatang, maka sudah sewajarnya jika kita menempatkan wacana lingkungan bukan sekedar sebagai doktrin cabang (furu’), tetapi kita harus menempatkannya sebagai doktrin utama (ushul) dalam ajaran Islam sebagaimana diajukan oleh Yusuf Qardhawi. Dalam Ri’ayah al-Bi’ah fiy Syari’ah al-Islam (2001), Qardhawi berusaha meyakinkan kita bahwa memelihara lingkungan memiliki urgensi yang sama dengan menjaga lima tujuan dasar Islam (maqashid al-syari’ah) yang dikenal dengan al-dharuriyyah al-khamsah. Bahkan untuk mainsteaming fikih lingkungan demi menyelamatkan bumi dari kerusakan fatal, kita perlu mempopulerkan pandangan bahwa perusak lingkungan adalah kafir ekologis (kufr al-bi’ah).
Mengawal Generasi Milenial
Tentu elaborasi prinsip-prinsip fundamental ini dalam level amaly (praktis) dengan mengacu pada dalil-dalil yang terperinci (tafshily) masih membutuhkan kerja keras para pemikir dan peneliti di dunia pesantren dan perguruan tinggi dengan dukungan sinergis dari pegiat lingkungan. Hal yang juga sangat penting adalah komitmen, konsistensi dan keteladanan dalam menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Betapa banyak para agamawan yang hidup di lembaga-lembaga agama yang sangat fasih berbicara mengenai fikih lingkungan, ternyata justru mendemonstrasikan perilaku yang anti lingkungan. Betapa banyak orang yang fasih melafalkan doktrin agama “kebersihan itu sebagian dari iman” misalnya, tetapi justru menampilkan perilaku jorok dalam kehidupannya.
Sebenarnya, era digital memberi ruang yang luas untuk mengkampanyekan apa saja di jagat maya. Fikih lingkungan memiliki peluang besar untuk tampil dan membuka “lapak” baru menjajakan gagasan-gagasan kreatif demi penyelamatan lingkungan. Jagat maya menghadirkan “new marketplace of ideas”. Di dalamnya orang-orang berebut mempengaruhi masyarakat. Kata kuncinya terletak pada kreatifitas dan inovasi. Seiring dengan perkembangaan ilmu pengetahuan dan tehnologi di era digital ini, banyak masyarakat yang menghabiskan waktu untuk berinteraksi dan bertransaksi secara online. Masyarakat juga mencari legitimasi agama mengenai perilaku keseharian mereka melalui media online. Apa yang boleh dan apa yang tidak boleh mereka lakukan. Searching atau googling melalui internet menjadi media baru dalam kehidupan masyarakat sekarang ini. Mereka memanfaatkan media online tidak saja untuk kebutuhan komersial tetapi juga kebutuhan spiritual.
Itulah sebabnya, kampanye fikih lingkungan dan perilaku ramah lingkungan perlu dilakukan secara sistematis dan cerdas melalui pembacaan terhadap karakter dari segmen masyarakat kita. Salah satu sasaran strategisnya adalah generasi milenial. Terhadap generasi ini, kampanye tersebut harus dikemas dalam media dan strategi yang ramah milenial terutama melalui dunia digital. Riset mengenai karakteristik generasi milenial bisa dimanfaatkan untuk menyusun disain program mainstreaming fikih lingkungan dan kampanye perilaku ramah lingkungan. Keterampilan digital, penggunaan disain grafis, animasi dan berbagai instrument ramah milenial lainnya bisa dioptimalkan untuk kepentingan ini. Targetnya adalah menjadikan perilaku ramah lingkungan sebagai life style mereka dan membuat mereka sadar bahwa perilaku anti lingkungan itu alay dan sama sekali nggak keren !.